1.
Diposkan oleh elisia worlinda | di 02.09 |
Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa
ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan
Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis
konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan
melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme,
yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham
politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat
berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi
masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif
serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik,
walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul
penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan
“Demokrasi Pancasila”.
Berbagai
“Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan)
baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti
yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung
(verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi
(gekwalificeerde democratie).
Sistem
“Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai
politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus
berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme
Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai
besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran
politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun
dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa :
1)
Gerakan separatis pada tahun 1957
2)
Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga
terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena
konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah
mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah
Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra.
Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata
Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang
masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru,
sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang
revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan
prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan
pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan
biaya tinggi.
Era Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada
era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi
total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka
waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun
hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.[rujukan?]
Pada 1968, MPR secara resmi
melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian
dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru"
dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar
negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya
adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19
September 1966mengumumkan
bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28
September 1966,
tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat
tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering
disebut lustrasi - dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal
dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer
Luar Biasauntuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan
politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus
diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP
ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan
ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur
administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi
secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer,
khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga
kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta,
sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang
diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II
yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan
ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi
dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir
serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber
daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an
SISTEM POLITIK DI INDONESIA ERA
REFORMASI
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau
keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan
kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan
tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala
prioritasnya. Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersbut di
dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan
yudikatif ).
Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan
diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik
antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya
cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud
suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut
di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga
ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan
umum. Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa,
Kelompok kepentingan(Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group),
Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan
pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui
badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan
dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya
partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan
aspirasi dan kehendak rakyat.
2.pengertian otonomi daerah.
Pengertian otonomi daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Selain pengertian otonomi daerah
sebagaimana disebutkan diatas, kita juga dapat menelisik pengertian otonomi
daerah secara harafiah. Otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah.
Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos
berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat
dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk
membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.
Keuntungan
dan Kekurangan Otonomi Daerah
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di
tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah
pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya
sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota
di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan
bergerak dari daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya
kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya,
yaitu dari pusat ke daerah.